THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Rabu, 25 November 2009

MENJADI GURU PROFESIONAL

MENJADI GURU PROFESIONAL:
PANGGILAN JIWA, PENILAIAN PORTOFOLIO,
ATAU PENDIDIKAN PROFESI?




Makalah untuk Seminar dan Lokakarya Menjadi Guru Profesional





D.F. MIRDIANTO, S.Pd




Pamekasan, 18 Mei 2009







MENJADI GURU PROFESIONAL:
PANGGILAN JIWA, PENILAIAN PORTOFOLIO,
ATAU PENDIDIKAN PROFESI?

D.F. MIRDIANTO, S.Pd


Pendahuluan
Di sela riuh gelombang wacana sertifikasi guru dalam jabatan akhir-akhir ini pantaslah mempertanyakan tentang keprofesionalan guru. Bagaimanakah guru profesional? Sudah pantaskah seorang guru yang sudah lulus sertifikasi --baik melalui program portofolio atau yang tidak lulus portofolio lalu lulus PLPG maupun melalui program PPG-- untuk disebut guru profesional? Padahal guru yang sudah lulus tersebut diketahui oleh sejawatnya sering membolos, malas bekerja, dan gajinya habis untuk membayar kreditan. Bagaimana menjawab keprofesionalan guru tersebut? Menjawab pertanyaan itu tidaklah sulit, terlebih lagi bagi guru yang bersangkutan atau bagi siapa saja yang terlibat dalam urusan sertifikasi guru dalam jabatan.
Menyoal keprofesionalan guru dalam kancah pendidikan juga bukan barang baru. Pada pertengahan abad ke-19 Sri Susuhunan Pakubuwana IV dalam karyanya Serat Wulangreh Pupuh Dhandhanggula bait 4 dan 7-8 telah mengoreksi keprofesionalan guru (lebih khusus guru spiritual)1, dan pada awal abad ke-20 Ki Hajar Dewantara juga memberikan ulasan tentang pokok itu. Para ahli pendidikan dunia pun telah banyak yang mengkritisi persoalan ini. Lorin W. Anderson (1989) menyatakan rumusannya melalui formulanya menjadi guru efektif, Ad. Rooijakkers (1989) menyusunnya dalam kerangka mengajar dengan sukses, R. Brandt (1993) dengan mempertanyakan apa yang dimaksud guru profesional, dan W.A Firestone (1993) justru tergelitik mengkritisi apakah untuk mencapai tujuan pendidikan hanya cukup dengan guru profesional.
Selain semua di atas, masih ada penjelasan guru profesional seperti oleh Nasution (1988), Mulyasa (2005), Ahmad Barizi (2009), dan juga guru profesional menurut UU RI Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab XI tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan pasal 34-44. Semua ahli dan UU tersebut menyebutkan berbagai kriteria untuk menetapkan guru profesional. Tulisan ini tidak bermaksud menetapkan kriteria mana yang lebih memadai, tetapi berusaha untuk menguraikan berbagai pandangan yang melandasinya dan memberikan kritik atas pandangan-pandangan tersebut.

Mengapa Guru Profesional?
Seiring dengan perubahan orientasi kehidupan masyarakat Indonesia di pertengahan 1980-an yang menjadikan materi sebagai ukuran dominan, citra guru terpuruk dan pekerjaan guru kurang diminati. Pekerjaan guru dianggap tidak menjanjikan masa depan yang gemilang bagi generasi muda. Para pakar pendidikan pun tidak bisa berbuat banyak atas kondisi semacam itu. Celakanya semua kalangan juga setuju membelakangkan bidang pendidikan dibanding bidang-bidang kehidupan yang lain.
Bersamaan dengan kondisi seperti di atas hakikat pendidikan untuk bangsa menjadi terlupakan. Padahal dalam konteks itu, kapanpun dan di manapun pendidikan memiliki peran antisipatoris dan prepatoris, yakni selalu mengacu ke masa depan dan selalu mempersiapkan generasi muda untuk kehidupan masa depan. Secara filosofis, pendidikan merupakan kegiatan menyiapkan masa depan suatu bangsa yang bukan hanya mempertahankan eksistensinya, tetapi juga supaya bisa berperan dalam berbagai dimensi kehidupan pada tataran nasional maupun internasional secara bermartabat.
Dengan dasar filosofis seperti di atas tidak beralasan kiranya menafikkan bidang pendidikan di negeri ini. Pada belahan yang lain, juga demikian, karena pendidikan hakikatnya merupakan bantuan/pelayanan pendidik terhadap peserta didik, tidak layaklah memposisikan guru pada tempat yang tidak semestinya. Sebagai sebuah pekerjaan yang dengan keahlian khusus dan berijasah serta diakui oleh masyarakat dan/atau negara, pekerjaan guru memenuhi persyaratan untuk disebut profesi (Bandingkan Mangkuprawira, 2002:44 dan Samana, 1994:12).
Pendidik harus diposisikan sebagai tenaga profesional. Seperti jenis pekerjaan yang berkualifikasi profesional yang lain, maka pekerjaan pendidik harus dilandasi tiga pilar yang melekat sebagi etos kerja, yaitu keinginan untuk menjunjung tinggi mutu pekerjaan (job quality), menjaga harga diri dalam pelaksanaan pekerjaan, dan keinginan untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat (Bandingkan Buchari, 1994:15). Untuk senantiasa menjunjung tinggi etos kerja semacam itu, maka landasan filosofis peran dan hakikat pendidikan seperti telah dikemukakan di atas perlu selalu diingat dan dipedomani. Etos kerja itu juga berimplikasi pada berbagai persyaratan yang mengikat kerja profesi, sebagaimana disepekati para ahli manajemen sumber daya manusia, seperti panggilan jiwa untuk menjalankan tugas mulia (vokasi/vocation), pengetahuan dan kecapakan/keahlian, kebakuan yang universal (teoretis, prinsipal, prosedural, dan asumtif), pengabdian, kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif, otonomi, kode etik, dan klien.
Dengan pemenuhan persyaratan sebagai profesi, pekerjaan guru atau pendidik tidak dapat dipandang remeh, baik oleh kelompok pelaku maupun kelompok di luarnya. Bagi guru selaku pekerja profesi tentu saja riskan dengan tuntutan masyarakat adanya anak-anak yang salah asuh, salah didik, atau salah ajar, seperti halnya dokter yang bisa saja melakukan kesalahan penanganan pasien (malpraktik).
Sejak pascareformasi politik di Indonesia, para ahli pendidikan juga berupaya melakukan reformasi pendidikan, dengan salah satu agendanya adalah peningkatan kesejahteraan guru atau mengangkat citra guru atau menjadikan pekerjaan guru sebagai profesi. Buah dari agenda reformasi pendidikan itu adanya konstitusi yang mengatur tentang guru dalam pendidikan. Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional --pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal-- diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibuktikan dengan sertifikat pendidik (UU No.14/2005 Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)).
Guru merupakan jabatan profesional yang memberikan layanan ahli dan menuntut persyaratan kemampuan yang secara akademik dan pedagogis maupun secara profesional dapat diterima oleh pihak di mana guru bertugas, baik penerima jasa layanan secara langsung maupun pihak lain terhadap siapa guru bertanggung jawab. Guru sebagai penyandang jabatan profesional harus disiapkan melalui program pendidikan yang relatif panjang dan dirancang berdasarkan standar kompetensi guru. Oleh sebab itu, diperlukan waktu dan keahlian untuk membekali para lulusan dengan berbagai kompetensi, yaitu penguasaan bidang studi, landasan keilmuan dari kegiatan mendidik, maupun strategi menerapkannya secara profesional di lapangan.
Sebagai pekerja profesional, guru harus memiliki kemampuan mengemban fungsi pendidikan, yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, dan memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan yaitu mengembangkan potensi peserta didik secara optimal.

Keragaman Pandangan tentang Profesionalitas Guru
Ada beberapa formulasi konsep untuk mengukur profesionalitas guru. Nasution (1988) memberi penjelasan hal itu melalui tugas guru, yaitu mengkomunikasikan pengetahuan dan menjadi model keteladanan. Mulyasa (2005) memberi penjelasan melalui peran yang dimainkan oleh guru dalam pembelajaran, yaitu (1) guru sebagai pendidik, (2) guru sebagai pengajar, (3) guru sebagai pembimbing, (4) guru sebagai pelatih, (5) guru sebagai penasihat, (6) guru sebagai pembaharu (inovator), (7) guru sebagai model dan teladan, (8) guru sebagai pribadi, (8) guru sebagai peneliti, (9) guru sebagai pendorong kreativitas, (10) guru sebagai pembangkit pandangan, (11) guru sebagai pekerja rutin, (12) guru sebagai pemindah kemah, (13) guru sebagai pembawa cerita, (14) guru sebagai aktor, (15) guru sebagai emansipator, (16) guru sebagai evaluator, (17) guru sebagai pengawet, (18), dan guru sebagai kulminator.
Menurut Mulyasa (2005) dengan memainkan kesembilanbelas peran di atas, maka profesionalitas guru dicapai, dan guru profesional adalah guru yang dapat menciptakan pembelajaran kreatif dan menyenangkan. Barizi (2009:154) merumuskan konsep bahwa guru profesional adalah guru yang mampu menjadikan siswa menjadi pintar dan berketerampilan, serta dapat mengembangkan potensi-potensi siswa. Untuk itu guru profesional harus mampu menciptakan pembelajaran yang produktif.
Baik Nasution, Mulyasa, maupun Barizi tampak bahwa mengukur keprofesionalan guru dari pembelajaran di ruang kelas. Hal itu tidak jauh berbeda Lorin W. Anderson (1989) menyatakan rumusan konsepnya melalui formula menjadi guru efektif, Ad. Rooijakkers (1989) menyusunnya dalam kerangka mengajar dengan sukses, dan R. Brandt (1993) dengan mempertanyakan apa yang dimaksud guru profesional. Akan tetapi, hal berbeda sama sekali dengan W.A Firestone (1993) yang justru tergelitik mengkritisi apakah untuk mencapai tujuan pendidikan hanya cukup dengan guru profesional. Firestone banyak menyodorkan tentang vokasi (vocation) atau panggilan jiwa sebagai modal utama bagi seorang guru untuk bekerja secara profesional.
Bagaimanakah pandangan-pandangan di atas jika ditandingkan pandangan konseptual para dedengkot pendidikan kita tempo dulu, Sri Susuhunan Pakubuwana IV dan Ki Hajar Dewantara. Keduanya mensyaratkan guru yang memiliki integritas atau bermartabat yang tinggi. Ki Hajar Dewantara, dengan konsep kerja dasar-ajar dan landasan asih, asuh, dan asah, mengkonseptualisasikan guru profesional yang berkepribadian adiluhung, yang meliputi adicipta, adirasa, adikarsa, dan adiraga.
Semua pandangan di atas tampaknya memiliki kesamaan dalam intensi guru sebagai model. Adakah yang semacam itu juga seperti yang dikehendaki oleh konstitusi negara kita yang berlaku sekarang untuk menjaring guru profesional?
Guru profesional di Indonesia diatur secara konstitusional dalam undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang RI Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam ketentuan perundangan tersebut dinyatakan secara konseptual dan operasional bahwa guru adalah pendidik profesional, yang dipersyaratkan memiliki kualifikasi akademik sarjana atau diploma IV (S1/D-IV) yang relevan dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran.
Kualifikasi akademik dengan persyaratan minimal S1/D-IV harus dipenuhi dengan bukti ijazah dan pemenuhan persyaratan relevansi mengacu pada jenjang pendidikan yang dimiliki dan mata pelajaran yang dibina. Misalnya, guru SD dipersyaratkan lulusan S1/D-IV Jurusan/Program studi PGSD/Psikologi/ Pendidikan/lainnya, sedangkan guru Matematika di SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, dan SMK/MAK dipersyaratkan lulusan S1/D-IV Jurusan /Program Pendidikan Matematika atau Program Studi Matematika yang memiliki Akta IV.
Penguasaan kompetensi sebagai agen pembelajaran yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional harus dibuktikan dengan sertifikat pendidik yang diperoleh melalui sertifikasi2. Yang dimaksud sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi guru bertujuan untuk (1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik profesional, (2) meningkatkan proses dan hasil pembelajaran, (3) meningkatkan kesejahteraan guru, (4) meningkatkan martabat guru; dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.
Sertifikasi guru dalam jabatan dilakukan melalui (1) Penilaian Portofolio, dan (2) Jalur Pendidikan.
Sertifikasi melalui penilaian portofolio didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 18 Tahun 2007. Penilaian portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumen yang mencerminkan kompetensi guru. Sertifikasi guru dalam jabatan melalui jalur pendidikan diorientasi kepada guru yunior yang berprestasi dan mengajar pada pendidikan dasar dan menengah dengan waktu selama-lamanya 2 (dua) semester.

Sertifikasi Melalui Penilaian Portofolio
Pada jalur portofolio, komponen penilaian portofolio mencakup (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Sepuluh komponen portofolio tersebut merupakan refleksi dari empat kompetensi guru, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Empat kompetensi itu meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional, dengan jabaran sebagai berikut.

Kompetensi Pedagogik
1. Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual.
2. Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik.
3. Menguasai kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu.
4. Terampil melakukan kegiatan pengembangan yang mendidik
5. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik.
6. Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.
7. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.
8. Terampil melakukan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar
9. Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran.
10. Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.

Kompetensi Kepribadian
1. Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia.
2. Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat.
3. Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa.
4. Menunjukkan etos kerja, tanggungjawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri.
5. Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.

Kompetensi Sosial
1. Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif karena pertimbangan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi.
2. Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan masyarakat.
3. Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya.
4. Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.

Kompetensi Profesional
1. Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu.
2. Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu.
3. Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif.
4. Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif.
5. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.

Sertifikasi Guru melalui Pendidikan Profesi Guru
Sebagaimana dijelaskan dalam Draf Panduan PPG Dirjen Dikti Depdiknas 2008, sertifasi guru melalui PPG memiliki landasan formal Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UURI Nomor 20/2003), Undang-Undang Guru dan Dosen (UURI Nomor 14/2005) dan berbagai peraturan perundangan lainnya, yang melihat peranan strategis guru dan dosen dalam peningkatan mutu pendidikan. Guru dipandang sebagai jabatan profesional dan karena itu seorang guru harus disiapkan melalui pendidikan profesi.
Kewajiban menyelenggarakan program PPG dirasakan semakin mendesak mengingat kebutuhan tenaga guru yang nyata di lapangan, agar pengangkatan guru baru dapat dilakukan sesuai dengan ketetapan yang ada. Di samping itu saat ini banyak lulusan program S1 kependidikan yang prospeknya tidak jelas, apakah dapat diangkat langsung sebagai guru atau tidak. Sementara pada saat ini terdapat lebih 270 LPTK dalam bentuk institut, universitas, fakultas, dan sekolah tinggi yang terus beroperasi dengan kualitas beragam dan memerlukan kepastian masa depan lulusannya.
Menurut UU No 20/2003 tentang SPN pendidikan profesi adalah pendidikan tinggi setelah program sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Dengan demikian maka program PPG adalah program pendidikan yang diselenggarakan untuk lulusan S1 Kependidikan dan S1/D-IV Non Kependidikan yang memiliki bakat dan minat menjadi guru agar mereka dapat menjadi guru yang profesional serta memiliki kompetensi profesional sesuai dengan standar nasional pendidikan dan memperoleh sertifikat pendidik untuk pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Tujuan Program PPG
Mengacu pada UU No. 20/2003 Pasal 3, tujuan umum program PPG adalah menghasilkan calon guru yang memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan khusus program PPG adalah untuk menghasilkan calon guru yang memiliki kompetensi dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai pembelajaran; menindaklanjuti hasil penilaian, melakukan pembimbingan, dan pelatihan peserta didik serta melakukan penelitian, dan mampu mengembangkan profesionalitas secara berkelanjutan.
Masukan Program PPG
Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam undang-undang dan peraturan yang ada, ada dua macam masukan yaitu lulusan S1 Kependidikan dan lulusan S1 Non Kependidikan.

Sistem Rekrutmen dan Seleksi Mahasiswa
Rekrutmen mahasiswa PPG harus memenuhi beberapa prinsip sebagai berikut.
1. Penerimaan calon harus disesuaikan dengan permintaan nyata di lapangan dengan menggunakan prinsip supply and demand sehingga tidak ada lulusan yang tidak mendapat pekerjaan. Hal ini dapat mendorong calon yang baik memasuki program PPG.
2. Mengutamakan kualitas calon mahasiswa dengan menentukan batas kelulusan minimal menggunakan acuan patokan. Ini berarti bahwa calon mahasiswa hanya akan diterima jika memenuhi persyaratan lulus minimal dan bukan berdasarkan alasan lain. Hanya calon terbaik yang dapat diterima.
3. Untuk memenuhi prinsip a dan b di atas maka penerimaan mahasiswa baru perlu dilakukan bekerjasama dengan Dinas Pendidikan di daerah sebagai stakeholders. Kerjasama ini perlu dilakukan menyangkut jumlah calon, kualifikasi dan keahlian sesuai dengan mata pelajaran yang dibina dan benar-benar diperlukan.
4. Agar mendapatkan calon yang berkualitas tinggi maka proses penerimaan harus dilakukan secara terbuka dan bertanggung jawab.
5. Rekrutmen dilakukan dengan:
a. Seleksi administrasi: (1) Ijazah S1/D-IV dari program studi yang terakreditasi, yang sesuai atau serumpun dengan mata pelajaran yang akan diajarkan (2) Transkrip nilai dengan indeks prestasi kumulatif minimal 2,75, (3) Surat keterangan kesehatan, (4) Surat keterangan kelakuan baik, dan (5) Surat keterangan bebas napza.
b. Tes penguasaan bidang studi yang sesuai dengan program PPG yang akan diikuti.
c. Tes Potensi Akademik.
d. Tes penguasaan kemampuan berbahasa Inggris (English for academic purpose).
e. Penelusuran minat dan bakat melalui wawancara dan observasi kinerja disesuaikan dengan mata pelajaran yang akan diajarkan.
f. Evaluasi kepribadian melalui wawancara/inventory atau instrumen evaluasi lainnya.
6. Peserta yang dinyatakan lulus dan selanjutnya dinyatakan diterima dalam program PPG diberikan Nomor Pokok Mahasiswa (NPM) oleh LPTK yang memuat kode-kode angka dengan urutan: a) Tahun angkatan (dua digit), b) kode perguruan tinggi (tiga digit), c) program studi (tiga digit), dan d) nomor urut (empat digit). Daftar peserta yang dinyatakan lulus beserta NPM selanjutnya dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas.
Keberhasilan rekrutmen ini amat bergantung kepada kerjasama antara LPTK penyelenggara program PPG dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi dengan Dinas Pendidikan/Pemda serta stakeholders lainnya yang relevan untuk memegang teguh prinsip akuntabilitas pengadaan tenaga kependidikan/guru.

Standar Kompetensi Lulusan
Sosok utuh kompentensi guru mencakup (a) kemampuan mengenal secara mendalam peserta didik yang dilayani, (b) penguasaan bidang studi secara keilmuan dan kependidikan, yaitu kemampuan mengemas materi pembelajaran kependidikan, (c) kemampuan menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik yang meliputi (i) perancangan pembelajaran, (ii) pelaksanaan pembelajaran, (iii) penilaian proses dan hasil pembelajaran, (iv) pemanfaatan hasil penilaian terhadap proses dan hasil pembelajaran sebagai pemicu perbaikan secara berkelanjutan, dan (d) pengembangan profesionalitas berkelanjutan. Keempat wilayah kompetensi ini dapat ditinjau dari segi pengetahuan, keterampilan, dan sikap, yang merupakan kesatuan utuh tetapi memiliki dua dimensi tak terpisahkan: dimensi akademik (kompetensi akademik) dan dimensi profesional (kompetensi profesional). Kompetensi akademik lebih banyak berkenaan dengan pengetahuan konseptual, teknis/prosedural, dan faktual, dan sikap positif terhadap profesi guru, sedangkan kompetensi profesional berkenaan dengan penerapan pengetahuan dan tindakan pengembangan diri secara profesional. Sesuai dengan sifatnya, kompetensi akademik diperoleh lewat pendidikan akademik tingkat universitas, sedangkan kompetensi profesional lewat pendidikan profesi. Kompetensi guru tersebut disajikan sebagai berikut:
1. Kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik mencapai standar kompetensi.
2. Menguasai ilmu pendidikan, perkembangan dan membimbing peserta didik.
3. Menguasai pembelajaran bidang studi: belajar dan pembelajaran, evaluasi pembelajaran, perencanaan pembelajaran, media pembelajaran dan penelitian bagi peningkatan pembelajaran bidang studi.
4. Mampu melaksanakan praktik pembelajaran bidang studi.
5. Memiliki integritas kepribadian yang meliputi aspek fisik-motorik, intelektual, sosial, konatif, dan afektif.
6. Kompetensi sosial merupakan kemampuan dalam menjalin hubungan sosial secara langsung maupun menggunakan media di sekolah dan luar sekolah.
Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang lengkap dapat mengacu Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007.

Struktur Kurikulum Program PPG
Berdasarkan perbedaan kompetensi lulusan S1 Kependidikan dan S1/D-IV Non-Kependidikan tersebut dilakukan kajian kurikulum yang hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut.

NO PROGRAM LULUSAN S1 KEPENDIDIKAN LULUSAN S1/D-IV
NON KEPENDIDIKAN
1 Akademik Pengemasan materi bidang studi untuk pembelajaran bidang studi yang mendidik (subject specific pedagogy) Pengemasan materi bidang studi untuk pembelajaran bidang studi yang mendidik (subject specific pedagogy)
2 Profesional PPL Kependidikan PPL Kependidikan

Dengan demikian struktur kurikulum program PPG pasca S1 Kependidikan dan S1/D-IV Non Kependidikan meliputi pengemasan materi bidang studi untuk pembelajaran bidang studi yang mendidik (subject specific pedagogy) dan PPL kependidikan. Subject specific pedagogy merupakan mata kuliah pengemasan materi bidang studi menjadi perangkat pembelajaran yang komperehensif, mencakup: standar kompetensi, materi, strategi, metode, media, serta evaluasi.
Dalam hal peserta didik berasal dari S1 Kependidikan yang mengintegrasikan PPL ke dalam kurikulumnya maka kurikulum program PPG berisi pemantapan bidang studi dan pendidikan bidang studi (subject enrichment and subject specific pedagogy) serta pemantapan PPL.

Matrikulasi
Matrikulasi adalah sejumlah matakuliah yang wajib diikuti oleh peserta program PPG yang sudah dinyatakan lulus seleksi untuk memenuhi kompetensi akademik bidang studi dan/atau kompetensi akademik kependidikan sebelum mengikuti program PPG.
a. S1 Kependidikan yang sesuai dengan program pendidikan profesi yang akan ditempuh tidak memerlukan matakuliah matrikulasi;
b. S1 Kependidikan yang serumpun dengan program pendidikan profesi yang akan ditempuh, dengan menempuh matrikulasi;
c. S1/D IV Non Kependidikan yang sesuai dengan program pendidikan profesi yang akan ditempuh, dengan menempuh matrikulasi matakuliah akademik kependidikan;
d. S1/D IV Non Kependidikan serumpun dengan program pendidikan profesi yang akan ditempuh, dengan menempuh matrikulasi;
e. S1 Psikologi untuk program PPG pada PAUD atau SD, dengan menempuh matrikulasi.
Contoh program studi serumpun adalah program studi sejarah, ekonomi, geografi sosial, sosiologi, dan antropologi merupakan rumpun program studi ilmu pengetahuan sosial; dan program studi biologi, fisika dan kimia merupakan rumpun program studi ilmu pengetahuan alam.

Beban Belajar
Beban belajar mahasiswa program PPG untuk menjadi guru pada satuan pendidikan ditentukan sebagai berikut:
1. TK/RA/TKLB atau bentuk lain yang sederajat lulusan S1/D-IV Kependidikan untuk TK/RA/TKLB atau bentuk lain yang sederajat adalah 18 (delapan belas) sampai dengan 20 (dua puluh) satuan kredit semester.
2. SD/MI/SDLB atau bentuk lain yang sederajat lulusan S1/D-IV) kependidikan untuk SD/MI/SDLB atau bentuk lain yang sederajat adalah 18 (delapan belas) sampai dengan 20 (dua puluh) satuan kredit semester.
3. TK/RA/TKLB atau bentuk lain yang sederajat lulusan S1/D-IV Kependidikan selain untuk TK/RA/TKLB atau bentuk lain yang sederajat adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.
4. SD/MI/SDLB atau bentuk lain lulusan S1/D-IV Kependidikan selain untuk SD/MI/SDLB atau bentuk lain yang sederajat adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.
5. TK/RA/TKLB atau bentuk lain yang sederajat dan pada satuan pendidikan SD/MI/SDLB atau bentuk lain lulusan S1 Psikologi adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.
6. SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang sederajat dan satuan pendidikan SMA/MA/SMALB/SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat, lulusanS1/ D-IV Kependidikan dan S1/D-IV Non Kependidikan adalah 36 (tiga puluh enam) sampai dengan 40 (empat puluh) satuan kredit semester.

Sistem Pembelajaran
Prinsip-prinsip pembelajaran yang perlu mendapat perhatian khusus dalam program pendidikan profesi guru, antara lain adalah:
1. Belajar dengan berbuat
Prinsip learning by doing tidak hanya diperlukan dalam pembentukan keterampilan, melainkan juga pada pembentukan pengetahuan dan sikap. Dengan prinsip ini, pengetahuan dan sikap terbentuk melalui pengalaman dalam menyelesaikan kegiatan-kegiatan yang ditugaskan termasuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi di lapangan.
2. Keaktifan peserta didik
Proses pembelajaran diarahkan pada upaya untuk mengaktifkan peserta didik, bukan dalam arti fisik melainkan dalam keseluruhan perilaku belajar. Keaktifan ini dapat diwujudkan antara lain melalui pemberian kesempatan menyatakan gagasan, mencari informasi dari berbagai sumber dan melaksanakan tugas-tugas yang merupakan aplikasi dari konsep-konsep yang telah dipelajari.
3. Higher order thinking
Pengembangan sistem pembelajaran yang berorientasi pada kemampuan berfikir tingkat tinggi (higher order thinking), meliputi berpikir kritis, kreatif, logis, reflektif, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.
4. Dampak pengiring
Di samping diarahkan pada pencapaian dampak instruksional (instructional effects), proses pembelajaran diharapkan mengakomodasi upaya pencapaian dampak pengiring (nurturant effects). Upaya ini akan membantu pengembangan sikap dan kepribadian peserta didik sebagai guru, di samping penguasaan materi perkuliahan.
5. Mekanisme balikan secara berkala
Penggunaan mekanisme balikan melalui evaluasi secara berkala akan mendukung upaya pencapaian kompetensi. Praktik evaluasi melalui kuis-kuis singkat dan tugas-tugas jangka pendek yang diperiksa dan dinilai dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran.
6. Pemanfaatan teknologi informasi
Keterampilan memanfaatkan multi media dan teknologi informasi perlu dikembangkan dalam semua perkuliahan, baik untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan maupun sebagai media pembelajaran.
7. Pembelajaran Kontekstual
Dalam melaksanakan pembelajaran, konsep-konsep diperoleh melalui pengalaman dan kenyataan yang ada di lingkungan sehari-hari. Pengenalan lapangan dalam bidang pembelajaran dilakukan sejak awal, tidak hanya menjelang akhir program, melalui kunjungan ke sekolah pada waktu-waktu tertentu, hingga pelaksanan Program Pengalaman Lapangan. Kegiatan dirancang dan dilaksanakan sebagai tugas perkuliahan.
8. Penggunaan strategi dan model pembelajaran yang bervariasi dalam mengaktifkan peserta didik.

Sistem Evaluasi Kompetensi Lulusan Program PPG
Pada hakikatnya program PPG Prajabatan merupakan pendidikan yang mempersiapkan lulusannya untuk menyelenggarakan layanan ahli kependidikan. Agar mampu menyelenggarakan layanan ahli, calon guru dituntut memiliki, menguasai, dan mampu menerapkan seperangkat kompetensi, yaitu kompetensi akademik dan kompetensi profesional. Dengan demikian program PPG Prajabatan merupakan pendidikan yang bertujuan untuk mempersiapkan mahasiswa agar menguasai kompetensi dasar profesi guru, sehingga layak dan siap mengemban tugas sebagai guru yang profesional.

Evaluasi Penguasaan Kemampuan Akademik
Penguasaan kemampuan akademik yang komprehensif dijabarkan dari sosok utuh calon guru yang profesional, dievaluasi melalui Tes Kemampuan Akademik berupa ujian tertulis, baik berbentuk objektif (seperti multiple-choice) maupun esai dan pemecahan masalah, serta ujian kinerja yang dikembangkan oleh LPTK penyelenggara program PPG. Berbagai ketentuan terkait dengan evaluasi penguasaan kemampuan akademik dijelaskan sebagai berikut:
a. Evaluasi dilakukan oleh dosen mata kuliah masing-masing secara formatif, untuk keperluan umpan balik dan perbaikan, dan secara sumatif untuk keperluan penentuan kelulusan. Evaluasi tersebut mencakup ujian tengah dan akhir semester serta tugas-tugas sepanjang perkuliahan berlangsung. Tugas-tugas yang diberikan lebih diarahkan pada penerapan konsep-konsep yang telah dipelajari secara bertahap dan berkelanjutan.
b. Berdasarkan ciri kurikulum berbasis kompetensi, evaluasi dilakukan dengan menggunakan pendekatan Penilaian Acuan Patokan (PAP) yang hasilnya menggambarkan profil kompetensi yang telah dan belum dicapai peserta didik. Pendekatan PAP diterapkan baik dalam pengembangan materi evaluasi maupun analisis hasil yang dicapai.
c. Penilaian dihasilkan dari berbagai bentuk evaluasi termasuk tes, observasi, dan rubrik.
d. Hasil evaluasi dinyatakan dalam huruf atau angka atas dasar persentase pencapaian kompetensi.
e. Kriteria minimal kelulusan dalam suatu matakuliah adalah 75% dengan catatan peserta didik yang hasil evaluasinya di bawah kriteria minimal diberi kesempatan untuk memperbaiki dengan diberikan program remedial.

Evaluasi Penguasaan Kemampuan Profesional
Penguasaan kemampuan profesional ini meliputi:
a. Evaluasi kinerja penguasaan kemampuan menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang berbasis pada sistem pembelajaran seperti yang diuraikan di atas. Jika diperlukan, pendalaman lebih lanjut dapat dilakukan melalui wawancara baik sebelum maupun setelah proses pembelajaran dilaksanakan.
b. Evaluasi kinerja dalam konteks otentik dilakukan melalui pengamatan para ahli. Sasaran evaluasi kinerja kontekstual ini tidak hanya terbatas pada tingkatan kemampuan mengelola pembelajaran melainkan lebih penting lagi adalah kualitas kinerja secara keseluruhan selama mahasiswa melakukan Program Pengalaman Lapangan. Evaluasi melalui pengamatan tersebut juga dapat dilengkapi dengan wawancara untuk menggali pendekatan dan strategi yang dianut para mahasiswa yang bersangkutan. Dalam rangka mewujudkan transparansi dan akuntabilitas, dalam evaluasi tagihan penguasaan kompetensi ini dapat dilibatkan penilai luar (external examiners), yaitu dosen pembimbing dari LPTK lain dan guru pamong dari sekolah lain.

Adapun ketentuan mengenai evaluasi kinerja PPL dalam konteks otentik ini adalah:
a. Diterapkannya pendekatan supervisi klinis dalam evaluasi yang memungkinkan mahasiswa melakukan evaluasi diri (self evaluation) dalam pelaksanaan PPL.
b. Dilakukan oleh guru pembimbing dan dosen pembimbing lapangan yang meliputi berbagai kegiatan, yaitu evaluasi terhadap: (a) Praktek mengajar, (b) Praktek persekolahan, (c) Kemampuan interpersonal, dan (d) Laporan hasil PPL. Di samping dalam bentuk nilai, hasil evaluasi PPL juga dilengkapi dengan deskripsi kompetensi-kompetensi yang masih perlu ditingkatkan (rubric).
c. Evaluasi setiap peserta didik perlu didokumentasikan antara lain menerapkan portofolio sehingga dapat dilihat perkembangan/peningkatan kualitas pembelajaran yang dilakukan selama PPL.
d. Kriteria nilai minimal kelulusan kegiatan PPL adalah B (3,0). Bagi mahasiswa yang hasil evaluasinya masih di bawah kriteria minimal diberi pelatihan tambahan sampai berhasil mencapai nilai minimal.

Ujian Akhir
Komponen ujian akhir terdiri dari ujian tulis dan ujian kinerja. Ujian tulis dilaksanakan oleh program studi yang dikoordinasikan oleh LPTK penyelenggara. Ujian kinerja dilaksanakan oleh program studi yang dikoordinasikan oleh LPTK dengan melibatkan organisasi profesi dan/atau pihak eksternal yang profesional dan relevan.

Penutup
Sertifikasi guru diikuti dengan peningkatan kesejahteraan guru. Bentuk peningkatan kesejahteraan tersebut berupa pemberian tunjangan profesi bagi guru yang memiliki sertifikat pendidik. Tunjangan tersebut berlaku, baik bagi guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun guru yang berstatus bukan pegawai negeri sipil (swasta).
Banyak orang dari berbagai kalangan yang mempertanyakan hasil sertifikasi guru dalam jabatan melalui penilaian portofolio, apakah mereka benar-benar profesional, padahal mereka hanya diuji berdasarkan sekumpulan dokumen yang disusun sedemikian rupa yang sulit dibuktikan kebenarannya? Apakah asesor selalu berprasangka baik terhadap kebenaran sekumpulan dokumen yang disusun guru? Pertanyaan-pertanyaan ini hendaknya menjadi bahan refleksi kita bersama sebagai landasan untuk memuliakan profesi guru dan mendidik diri menuju profesionalisme yang sesungguhnya.
Pada belahan lain, sejauh ini masih banyak kedapatan guru yang menyalahkan dirinya mengapa menjadi guru dan bahkan menyesali nasib buruknya itu. Marilah kita berasa bahwa kita hidup menjadi guru ini sudah benar. Dengan landasan vokasional --panggilan jiwa untuk menunaikan tugas mulia untuk menjadikan generasi masa depan bangsa yang berkualitas— akan melahirkan kekuatan batin (inner force), membuahkan gairah hidup (elan vital), dan menumbuhkan semangat (spirit) untuk berpretensi pada aksi-aksi kependidikan dan kepengajaran serta
Menjadikan pekerjaan guru sebagai pilihan hidup ditambahkan segala kelengkapan profesionalitas akan menumbuhkembangkan jiwa profesionalisme. Dengan landasan vokasionalitas dan kelengkapan profesionalitas itu niscaya pendidikan betul-betul akan berperan dalam mencipta masa depan gemilang bagi generasi bangsa.






Catatan:
1) Wulangreh, Sri Susuhunan Pakubuwana IV, Pupuh Dhandhanggula, pada 7-8:
(4) Nanging yen sira nggeguru kaki,
amiliha manungsa kang nyata,
ingkang becik martabate,
sarta kang wruh ing khukum,
kang ibadah lan kang wirati,
sokur oleh wong tapa,
iya kang wus mungkul,
tan mikir piwewehing liyan,
iku pantes yen den guronana kaki,
sartane kawruhira. (8) ingkang lumrah ing mangsa puniki,
kyai guru kang ngupaya sabar,
temen kewaleh karepe,
kang wus lumrah karuhun,
jaman kuna yekti si murid,
ingkang padha ngupaya,
kudu anggeguru,
ing mangko ikita nora,
kyai guru kang nrutu ngupaya murid,
dadiya kantinira.
(7) angel temen ing jaman puniki,
ingkang pantes kena ginuroni,
akeh wong njala ilmune,
lan arang ingkang manut,
yen wong ilmu ingkang netepi,
penggaweyane syara,
den arani luput,
nanging iya sesenengan,
nora kena inguwor karep puniki,
pepancene priyangga.

2) Di beberapa negara, sertifikasi guru telah diberlakukan, misalnya di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Di Denmark kegiatan sertifikasi guru baru dirintis dengan sungguh-sungguh sejak tahun 2003. Memang terdapat beberapa negara yang tidak melakukan setifikasi guru, tetapi melakukan kendali mutu dengan mengontrol secara ketat terhadap proses pendidikan dan kelulusan di lembaga pengasil guru, misalnya di Korea Selatan dan Singapura. Semua itu mengarah pada tujuan yang sama, yaitu berupaya agar dihasilkan guru yang bermutu.

DAFTAR BACAAN
Anderson, Lorrin W., 1989. The Effective Teacher. Nem York: McGraw-Hill Book Company
Barizi, Ahmad. 2009. Menjadi Guru Unggul: Bagaimana Menciptakan Pembelajaran Yang Produktif & Profesional. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Buchori, Mochtar, 2000. “Peranan Pendidikan dalam Budaya Politik” dalam Basis, Nomor 07-08. Tahun ke-49. Juli-Agustus
Dewantara, Ki Hajar,1961. Karya Ki Hajar Dewantara: Bagian Pertama, Pendidikan (disusun oleh M. Tauchid, dkk). Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Panduan Penyusunan Portofolio (buku ke-2). Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Panduan Penyusunan Portofolio (buku ke-3). Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Panduan Penyusunan Portofolio (buku ke-6). Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas
Mangkuprawira, Tb. Sjafri. 2002. Manajemen Sumberdaya Manusia Strategik. Jakarta: Ghalia Indonesia
Mulyasa, E. 2008. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Nasution, S., 1988. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara
Pakubuwana Iv, Sri Susuhunan. Tt. Wulangreh (disunting oleh BM. Pramono). Surakarta: Penerbit Kedaton Surakarta Hadiningrat
Rooijakkers, Ad. 1989. Mengajar Dengan Sukses. Jakarta: Gramedia
Schultz, Duane.1981. Theories of Personality. California: Brooks/Cole Publishing Company
Supriyadi, Dedi, 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusantara
Zohar, Danah dan Marshall, Ian, 2005. Spiritual Capital: Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis (penerjemah: Helmi Mujastofa). Bandung: PT Mizan Pustaka.

0 komentar: